Senin, 22 Desember 2008

Perlakuan Masyarakat terhadap Fasilitas Umum

Dua hari yang lalu, saya melihat kejadian yang sampai saat ini menjadi pikiran saya. Seorang pemulung sedang mencoba mematahkan sebuah rambu lalu-lintas penanda sisi jalan di sekitar daerah Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Saya yakin itu bukan perbuatan dia -atau paling tidak rekan-rekannya- yang pertama, karena saya lihat rambu-rambu disebelahnyapun sebagian sudah hilang.

Kalau berbicara mengenai prilaku pemulung itu saya bisa maklum, pertama, karena saya yakin bahwa tingkat pendidikan pemulung tersebut tidak tinggi sehingga untuk dituntut menghargai fasilitas kota seperti rambu jalan itu mungkin tidak terlintas dalam pikirannya. Kedua, usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup -apalagi dikota besar seperti Jakarta- bagi seorang pemulung yang serba penuh keterbatasan, baik dari segi pendidikan maupun ekonomi mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi mereka untuk menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Itu cerita tentang pemulung. Lain lagi kesan yang saya dapat kalau perbuatan tersebut dilakukan oleh seorang yang berpendidikan tinggi atau paling tidak pernah mengenyam bangku pendidikan. Kejadian dimana oknum pengguna telepon umum merusak fasilitas tersebut hanya untuk mendapatkan sekedar uang recehan merupakan salah satu contohnya. Coba kita perhatikan, berapa banyak telepon umum diwilayah DKI Jakarta ini yang bisa dipakai dengan baik. Jawabannya pasti sebagian besar dari fasilitas tersebut sudah dalam kondisi rusak. Pemerintahpun saya rasa sudah lelah untuk hanya sekedar melakukan perbaikan, karena seperti yang umum terjadi, umur telepon umum paska perbaikan paling hanya beberapa hari lagi sebelum akhirnya kembali rusak.

Contoh lain adalah tempat sampah. Saya sempat merasa senang melihat inisiatif pemerintah beberapa daerah yang pernah saya singgahi. Mereka kembali menggalakkan penyediaan tempat sampah umum untuk mendukung usaha meningkatkan kebersihan wilayah mereka. Mereka juga dengan profesional memisahkan sampah organik dengan yang non-organik. Kalau saja seandainya usaha pemerintah tersebut didukung oleh masyarakat, tentu penanganan sampah kota dapat dilakukan dengan baik. Sampah organik bisa dibuang ke tempat yang sudah ditentukan untuk kemudian diolah menjadi pupuk misalnya, dan sampah non-organik bisa disalurkan kepada perusahaan-perusahaan pendaur ulang. Tapi yah... kembali lagi kepada mental masyarakat kita. Sulit bagi pemerintah untuk menjalankan program-programnya tanpa dukungan kita semua.

Selain tetap konsisten menjalankan usahanya untuk mempercantik kota, pemerintah daerah, pusat maupun lembaga-lembaga non pemerintah yang berkepentingan dengan masalah ini saya harap bisa mencari cara bagaimana merubah mental dan prilaku masyarakat terhadap fasilitas yang sudah disediakan bagi mereka.

Saya melihat contoh yang bagus dari program busway. Jalur yang terpisah membatasi busway dan bis lainnya yang pada umumnya ugal-ugalan untuk bertemu dan saling kejar. Busway memberikan citra sebuah transportasi masa yang sangat eksklusif. Jalan sesuai jadwal, berhenti sesuai jadwal, serta berjalan dijalur yang rapih. Halte busway yang posisinya tinggi berhasil "memaksa" masyarakat yang mempunyai budaya menyetop kendaraan umum disembarang tempat untuk membiasakan diri berdisiplin menggunakan halte sebagai tempat khusus menyetop kendaraan. kalau hal seperti ini berhasil diterapkan oleh pemerintah terhadap program-program lainnya, bukan tidak mungkin mental masyarakat kita lama-kelamaan berhasil dirubah. Saya yakin, karena masyarakat kita adalah juga manusia seperti halnya masyarakat negara lain yang terkenal disiplin menjaga kebersihan dan kerapihan, seperti Singapura, yang pada dasarnya mencintai keindahan dan kerapihan. Tapi memang perlu sedikit "pemaksaan" untuk merubah sikap mental yang sudah menjadi kebiasaan. Ingat pepatah Jawa, "witing tresno jalaran soko kulino" yang artinya "cinta karena terbiasa. Dalam hal ini cinta terhadap kebersihan dan keindahan wilayah tentunya.

Tidak ada komentar: